005

header ads

PUISI KARYA ILHAM OKTAFIAN

#PUISI
“DUSUN DAN KAU”



Bentang kampung pegunungan berpadu

Dengan nyanyi petani dan rimbun jerami

yang harum…

Nyiur pematang menari lembut

Bersahut hijau dengan rumput

dan alang-alang…

Begitu dingin dan menggetarkan

Malam disini dalam sisa-sisa kenangan.

Dusun sonder kata gemerlap…

Dusun jauh dari warna kotamu yang riuh…



















“KUINGAT-INGAT”


Kuingat-ingat

Sore yang padam pada pucuk damar

Di tepi kali yang sunyi, Kusimpan beku senyummu

Dingin matamu, Kukenang putih seperti mori

Di pipimu berhenti waktu

Kuning langsat itu bermekaran renungan

Tentang satu janji berbatas maut…



Kuingat-ingat

Petang yang pisah sepahit getah pakis

Kuingat-ingat hangat nafasmu

Kuingat-ingat gesa bibirmu

Kuingat-ingat lagi

Kuingat-ingat lagi, Dik…














“RAMADHAN”



Candu itu,

Hidup rimbun pada ranting-ranting meranti

Rukun indahnya tertanam subur

Pada batu-batu dan pusara.

Doa-doa terpanjat

Menyatu Tuhan dalam tinggi bukit…

Candu itu,

Kerinduan hijau kampung halaman

Candu itu,

Basah tanah peladang sehabis penghujan

Candu itu,

Gemulai gunung berbaris hutan jati

















“TERSIMPAN SAJAK”


Tersimpan wajahmu

Jantung rembulan, pendar separuh

Tergores hati, memungut diam bisu bahasa

Sepi kota dan acuh cahaya

Melumat gigil di ruang dada



Tersimpan matamu

Wajah langit, pudar bersimpuh

Tertanam pahit, diantara kasih dan duka luka

Harum rumput, kobar api di pediangan

Menggenapi hangat dan kehilangan



Kekalkan cerita musim di tubuhmu

Biar kutulis dalam kertasku

Berjejer huruf

Yang kuharap jadi sajak dan pelukan












“DESAKU”



Seperti kelabu tua kuingat pandangnya…

Separuh har ditinggalkan

Dalam kuning kembang padi.

Tercatat lembut dalam nurani

Anak-anak dusun

Bercumbu sungai sampai petang hari…

Batu-batu beku

Bicara bisu

Berbisik ruang

Dalam ampun desak kota.

Getar namanya

Tertinggal jauh

Dalam sisa-sisa kenangan…

Gundah hatinya

Tertanam jauh

Dalam kelana kampong halaman













“SURAT TERAKHIR”



Kutulis luruh bunga anyelir

dan sepasang surat lugu dalam sajakku

Demam kata

Pujangga muda mencari gerimis

Puisi singgah…

Subur biru benua kusadur dalam langit tipis

Kujaga puisi ini

Sebelum musim salju merapati…

Janji yang menyebar kaku kuhimpun satu-satu dalam namamu

Dalam namamu…

Selat majas melimpah madu

Kicau burung berkejaran

Ditiup cakrawala…

Aku berhenti

Untuk bimbang,kuturuti liat kertas ini

Merapal jantungmu..

Tak lama lagi

Atap rumbia ditukar percakapan

Sawah dan ladang ini ditukar

Getir kehidupan…

Tak lama lagi

Puisi ini akan pulang dengan kerucut terpal

Dan serbuk palma yang harum..

Gores pena berseri tanpa dusta imaji

Kenanglah

Kenanglah



“DI SUATU SUNYI”



Kata mengapung lembut

Di serat bambu

Malam merawatnya,dengan bait gelap

Tanpa suara…

Sebungkus cahaya mengendap

Hanya ada jendela pegunungan

Dengan goa putih

Yang ditumbuhi serat-serat rosela…

Bulan menjahit gagang perdu

Daun digiling

Dengan musim kemuning

Yang luput dari jejak pucat kemarau.

Langkahmu

Mengulur rinai

Menjadikan sajak hujan jadi kekal

Menghijau

Membasahi rumput yang kita hitung satu persatu

Dengan bening kejora di timur laut

Aku akan menjaga

Tidurmu

Mimpimu

Sampai kau kembali

Dengan kunang-kunang yang menabur benih dingin

Dengan batas jarak yang aling melupakan…

Lalu kita

Jadi asing

Saling mendekap

Doa-pun sunyi

Abadi

“KABAR DUKA”



Di pavilium,hujan asin

Kabar duka,Kabar duka…

Suara serak mengapung

Mengepung

Ngiluku untuk dengkurmu

Kudengar ayat suci diucap beberapa-kali

Diujung tikar doa sunyi untuk orang tua kami…

Di trails biru,angin bersiul. Angin mengembun

Benang di ranjang tinggal jadi kafan

Sengau

Sengau di segala sisi…

Di pavilium,Tuhan berdiri

Kabar duka,Kabar duka

Yang tiada

Sudah genap

Berpamitan













“BLORA”



Rembulan tak lama lagi

Satu persatu nama akan menuju tubuhmu

Satu persatu doa akan menuju langitmu

Aku akan pasrah

Pada lembar jerami dan daun-daun rosela…

Aku menunggumu di tempat ini,

Tanpa kota,dan lampu murung seperti nasibmu.

Aku ingin mengingat

Kabar petani yang mati tengah hari

Aku ingin menuju jantungmu

Tanpa merah dacin,dan sisa petang di pohon saman.

Kampungku…

Batu-batu yang menggenang pada daun-daun jati,

Kita akan tidur disini

Di ruang ini

Tanpa duka

Tanpa luka…










“DIK”



Di gerbang perkampungan

Aku berendam dalam hijau matamu

Pada sungai yang asin

Kulihat kabar burung yang telah jadi patung…

Anak-anak gembala

Meraba

Meramal awan.

Di suatu hari yang hujan

Kututup wajahmu yang basah

Kuusap

Kuusap…

Gurun berangkat terjal

Terbaring pulas dalam dada

Lanskap gelagah mengering

Menggenapi musim bunga yang berjatuhan…

Kukenang suaramu

Di bawah nyiur dan deras gerimis di pondok peladangan.

Separuh udara mulai sesak

Kuingat lukamu

Merahmu…

Yang gores bibir

Dan melekat hangat

di pundakku

di pipimu,Dik















EMAIL :

 ilhamoktafian@yahoo.com



Instagram :

@ilhamoktafian



Facebook

Ilham Oktafian





Posting Komentar

0 Komentar