Buku yang berjudul Wisata Desa Billapora dalam Sajak karya Raedu Basha merupakan karya unggulan dari hasil sayembara manuskrip buku puisi yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur (2021). Antologi ini merupakan buku ketiga dari kumpulan puisi Raedu yang telah diterbitkan. Sebelumnya “matapangara, 2014” dan “Hadrah Kiai, 2017”. Buku ini memuat 38 sajak/puisi yang secara keseluruhan lahir dengan tema lokalitas dimana ia lahir dan tinggal. Maka pemilihan judul Wisata Desa Billapora dalam Sajak si penyair semakin menegaskan bahwa sajak yang dilahirkan memang berangkat dari tempat dan sekitar; bernama desa Billapora.
Hal yang menarik dari
judul tersebut yaitu Raedu lebih memilih kata sajak ketimbang puisi. Walaupun
serasa sepele dengan kata sajak mungkin si penyair sudah memahami bahwa
masyarakat di mana ia tinggal, ada kemungkinan karena lebih mengenal kata sajak
daripada puisi. Meskipun sacara maksud adalah sama.
Kumpulan sajak yang
rata-rata ditulis pada tahun 2021 ini, dibagi menjadi tiga bagian. Pertama “Alkisah Bujuk & Anyaran”
terdapat 15 judul sajak. Kedua “Kerajinan,
Permainan, & Kuliner” juga ada 15
judul sajak. Pada bagian ketiga “Ritus
& Mitos” terdapat 8 judul sajak.
Sajak-sajak di dalam
buku ini memiliki “rasa sosial” yang tinggi. Ia tidak merumitkan diri sebagai bacaan.
Raedu seperti tidak ingin terjebak atau terkesan karyanya dibuat-buat. Tetapi
unsur keindahan dalam pengolahan kata-kata dari tiap bait masih terjaga dan
tidak menjauhkan dari maksud atau pesan yang hendak disampaikan. Sehingga
pembaca mudah menangkap pesan yang berdiam dalam tubuh dari sajak-sajak
tersebut. Semisal pada sajak yang berjudul “Buah Billa Diporak. Billapora!”.
Saya kutip bait ke-6 dan 7 “setelah qabiltu
diucap Muksin penuh yakin//nampan terhidang buah billa porak dua//bagian
pertama untuk mempelai pria//bagian kedua bagi pengantin hawa//. “Billapora!”
ucap Agung Sumi//. Sajak tersebut dengan sangat mudah bisa ditangkap tanpa
mengetuk-ngetuk kening. Secara garis besar bisa ditangkap mengenai riwayat Billapora.
Dari kutipan di atas,
mengenai asal-usul Billapora ditahbiskan menjadi nama sebuah desa, kemungkinan
didapat dari lisan ke lisan hingga di tangan Raedu menjadi sajak. Dimana nama
Billapora diambil dari peristiwa nampan
terhidang buah billa porak dua. Meskipun kita masih boleh menduga-duga hal
itu benar atau tidak. Tetapi kalimat itu memberikan sugesti untuk kita pegang
sebagai pengetahuan. Di sisi lain saya menduga Billapora itu diambil dari
peristiwa pesta buah billa itu. Karena dalam KBBI “pora” itu berarti pesta.
Terlepas dari
dugaan-dugaan itu, perihal mengenai muasal Billapora, Raedu menulisnya begitu
runtun. Meskipun ini bukan kumpulan cerita pendek tetapi dalam buku ini si
penyair juga menggambarkan proses atau cerita asal-muasal Billapora dengan
runtun dengan sajak sebagai media ungkap. Sajak yang ditaruh pertama berjudul
“Pergi dari Giri”. Di mana saat kondisi Giri hancur dan keadaan semakin sunyi seorang jejaka abdidalem ditemui Agung
Sumi//lelaki yang menepati janji menanti//. Perempuan itu meminta://”Muksin,
bawa aku pergi dari istana Giri.”//. “gerangan ke mana, Nyai Agung?”//. Kata
Muksin itu. “pun.”// jawab si Nyai
Agung Sumi. Jadi membaca sajak ini benar-benar sedang berwisata; berwisata ke
sejarah masa lampau juga bisa berwisata kepada pikirannya si penyair. Sebab
mengenai Billapora, Raedu menangkap dari luar kemudian ditariknya ke dalam
dengan silsilah yang tidak terputus sampai kepada dirinya dengan “Jalan Lora”
yang ada pada halaman 43.
Sebagian sajak yang mengenai
Billapora khususnya pada bagian pertama, secara samar-samar juga ada yang digambarkan
dengan rasa pesimis atau kecemasan dari si penyair. Namun tidak berlebihan. Sebagaimana
pada sajak yang berjudul “Tangan Lembut” di bait ketujuh duhai kiai Jazuli//aku rindu kau kakek yang sufi//hadir mengusap lembut
gemetar-gemetarku//sungguh Billapora begitu berubah sikonnya//ke mana engkau
dan para agung?//masihkan di antara kami hari ini?// di tengah arus
globalisasi yang memaksa kita seolah hanya menghadapi tantangan yang sedang
mengancam keberlangsungan hidup. tahun
dua ribu dua puluh satu masehi//seorang milineal yang merintih sendiri//di
tengah arus globalisasi ditambah pandemi//warga-warga desa merantau ke
kota-kota//talun tak ditanami jagung padi tembakau//semua uzur di
bentang-bentang ladang.
Begitulah apa yang
sedang direkam dan dituliskan oleh Raedu meski desa secara geografis menurut
pandangan umum dianggap skala kecil, tetapi juga kompleks akan nilai-nilai kebudayaan,
peradaban beserta permasalahan yang turut mewarnai. Fenomena yang masih ada di
masyarakat pedesaan khususnya di Billapora seperti peristiwa santet. Sebuah kisah dari Billapora//seorang santri
bernama Jumal//mengaku pernah melihat penyantet (Menyaksikan Penyantet:
36). Hampir sama dengan cerita-cerita tentang santet yang ada di desa-desa
lainnya katanya, penyantet
merapalkan//mantra-mantra ilmu timur//memasang paku-paku dan telur//dibungkus
kain kafan//untuk menyihir seorang kiai//pengasuh pondok pesantren//dimana
Jumal nyantri. Demikian tentang peristiwa santet yang bisa ditujukan kepada
siapa saja dengan berbagai motivasi. Ada yang karena benci, iri, atau ngetes
kesaktian seseorang. Dari sajak itu tampak peristiwa yang sudah lama dan
dihadirkan kembali. Entah hari ini masih ada atau tidak, diinginkan atau tidak,
itulah salahsatu peristiwa yang memang ada di desa. Perihal yang tampak maupun
yang gaib.
Meskipun mempunyai
sisi-sisi yang negatif, ruh utama tentang sebuah negara bisa dibilang ada pada
desa. Raedu menulisnya di pembuka sekaligus di sampul belakang “Tanpa desa.
Negara hanya sebuah nama yang hampa”. Sebab kita patut belajar pada masyarakat
pedesaan yang meiliki pikiran sederhana dan besar isinya.
Salahsatunya yang patut
diteladani dan diapresiasi adalah bagaimana cara mereka mengenang dan
menghargai jasa leluhurnya yang telah menjadi warisan dari generasi ke generasi
berupa seni kerajinan tangan berupa batik. Berikut saya kutip sajak “Batik
Agung Sumi”. Ukiran itu bersemayam sapuan
warna//tak akan tersingkap dalam nyata//sebab para kekasih tidak di
baka//tetapi bereinkarnasi menaja budaya (hal. 49). Adanya kerajinan tangan
batik Agung Sumi yanng mungkin diciptakan oleh generasi setelahnya, secara
tidak langsung sebagai pembuktian bahwa tidak mudah melupakan sejarah khususnya
jasa-jasa yang telah dilakukan Agung Sumi sebagai pembabat alas.
Sajak-sajak mengenai
seputar Billapora ini, tidak hanya sekadar menjadi tempelan atau mengalihkan
saja dari peristiwa aslinya. Peristiwa, pengetahuan dan kenangan yang diolah
Raedu sudah bisa dinilai “berhasil” menjadikannya sajak atau puisi. Mengenai
puisi seiring dengan apa yang pernah ditulis Rahmat Djoko Pradonono (2002:7) menyatakan bahwa puisi
mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi
panca indra dalam susunan yang berirama. Puisi merupakan rekaman dan
interpretasi pengalaman manusia yang penting dan digubah dalam wujud yang
paling berkesan.
Raedu juga melempar pertanyaan di lembar pengantar “Apa yang diinginkan sajak ini perihal wisata?”. Paling tidak kita akan menjumpai sebagaimana datang pada tempat wisata: menikmati, mengamati, mengetahui, memaknai, ataupun untuk bernostalgia. Tabik
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313