005

header ads

Cerpen: TAK ADA MAKAN SIANG YANG GRATIS

 TAK ADA MAKAN SIANG YANG GRATIS

Cerpen Walidha Tanjung [Fileski] 

Dimuat negerikertas.com 27 Maret 2024 



“Alhamdulillah tunjangan kita cair, enaknya syukuran makan-makan kita ajak teman-teman yuk” ujar Suwito ketika gembira mendengar suara klunting di ponselnya. 


Aku dan Suwito adalah teman sekantor, kami bekerja sebagai admin di sebuah rumah sakit milik pemerintah provinsi. Berbeda dengan teman kebanyakan, aku lebih sering ngobrol sama Suwito. Kami cocok dalam membicarakan berbagai tema, mulai dari tema politik, isu konspirasi dunia, sampai membahas gosip tentang teman-teman sekantor. 


Suwito bisa dikatakan seniorku, tapi dia orang baru, aku yang lebih lama di sini. Sehingga Suwito kerap bertanya perihal adaptasi di lingkungan kantor, mulai dari karakter teman-teman sampai tempat nongkrong yang enak di kota ini. Ya begitulah, kami berteman seolah tanpa tendensi kepentingan birokrasi. 


Usiaku dan Suwito terpaut 10 tahun, tentu dia lebih tua dariku. Mungkin karena aku suka membaca, membuat aku bisa mengimbangi pola pikirnya sebagai orang dewasa yang beranjak tua. Ia sering curhat mulai dari permasalah rumah tangga sampai masalah anaknya. Sedikit cerita tentang rumah tangganya, aku bocorkan di sini. Dia punya istri yang sangat pencemburu. Bahkan gajinya selalu dikontrol sama istrinya, sepertinya istrinya sangat takut bila gajinya Suwito digunakan untuk belanja hura-hura dengan wanita lainnya. 


Pernah suatu ketika, istrinya tahu dia sering ngobrol mesra dengan wanita lain, via aplikasi whatsapp. Tanpa sepengetahuannya, ponselnya disadap dari versi web. Sehingga istrinya itu memantau semua chatnya bersama wanita penggoda suaminya itu. Meskipun wanita itu hanya ingin mencari uang dari kedekatannya dengan Suwito, tidak ingin merebut atau menikah dengan Suwito. Tetap istrinya sangat geram, hingga bermula dari peristiwa itu, gaji bulanan Suwito selalu disita, dengan alasan untuk mengamankan keuangan keluarga. 


Bukan Suwito bila tak punya banyak akal. Kalau dilihat dari luar, tampangnya lelaki lugu, sama sekali tak ada jiwa kenakalan dari wajahnya. Tapi cerdiknya dia, ternyata sudah menyiapkan dana kenakalan untuk bisa jalan-jalan sama wanita sampingannya itu. Meski aku percaya Suwito bukan lelaki libido yang suka tancap flashdisk di banyak USB. Hanya sekedar jalan-jalan, ngopi di cafe, cerita-cerita dan pulang, cuma sebatas itu saja. 


Tak heran kalau Suwito terlihat kesepian, dia tak pernah mendapatkan waktu berkualitas bersama istrinya yang sangat sibuk itu. Istrinya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan kontraktor. Bahkan sering lembur pulang malam, aku curiga istrinya itu disukai sama bosnya, sehingga karirnya bisa naik pesat, dan itu yang membuat pola pikir istrinya, bahwa semua lelaki kalau punya banyak uang, pasti digunakan untuk belanja dengan wanita lain. 


Kembali cerita tentang kegirangan Suwito dapat uang tunjangan. Diluar gaji pokok, uang tunjangan itulah yang tidak diketahui istrinya, ia menyebutnya dana kenakalan. Ia punya rencana ingin makan-makan bersama kawan-kawan sekantor. Aku sih setuju saja, sebagai seorang junior yang masih belum dapat tunjangan besar, suka-suka saja kalau diajak makan-makan. 


“Fran, ayo besok kita ajak bu Nela makan-makan” ajak Suwito dengan menyebut nama panggilanku, yang lengkapnya Zafran.

“Wah kalau cuma ngajak bu Nela, aku cuma jadi obat nyamuk dong!” aku jengkel cuma diajak buat jadi obat nyamuk. 


Oh ya sedikit kita bahas bu Nela. Dia juga salah satu teman sekantor. Kira-kira baru setahun ini bu Nela bekerja disini, mutasi dari rumah sakit provinsi yang ada di kota lain. Usianya diatas Suwito, bahkan aku pernah dengar dia 4 tahun lagi akan pensiun, namun usia ternyata tidak mewakili wajahnya, yang masih terlihat usia 40an. Terlihat Suwito punya rasa ketertarikan ke bu Nela. Begitupun bu Nela merespon dengan frekuensi yang sama. Kalau ke teman lainnya biasa dipanggil dengan sebutan Pak, khusus Suwito dipanggil dengan sebutan Mas Wito. Bahkan aku pun yang usianya 10 tahun dibawahnya Wito, tetap dipanggil Pak, sama Bu Nela. 


Bisa jadi kedekatan mereka berdua karena kesamaan nasib. Wito yang tak pernah mendapat waktu berkualitas bersama istrinya, dan bu Nela yang kesepian karena ditinggal suaminya bekerja di luar Jawa sebagai penambang batu bara. Rutinitas kerja membuat kebosanan menumpuk, dan hal-hal sederhana seperti makan bersama, bercerita, dan bercanda dengan teman satu frekuensi, tak dapat dihindari. Meskipun masing-masing sudah punya pasangan suami dan istri. 


“Kalau cuma bertiga, aku tidak mau, harus ajak teman lainnya, wegah aku jadi obat nyamuk” jawabku dengan tegas merespon ajakan Wito untuk acara makan-makan. 


“Oke kalau begitu, atur saja siapa teman-teman yang asik buat kita ajak, mumpung baru cair, mumpung uang ini belum ketahuan bojoku” 


Di hari dan waktu yang telah kami sepakati, akhirnya aku, Wito, dan kawan-kawan ikut berangkat satu mobil, menuju tempat makan yang sudah direncanakan. Memang kalau sudah satu frekuensi, ngobrol apa saja jadi seru, kami ngobrol tentang debat presiden, saling sindir tentang argumen para capres, dan saling berusaha meyakinkan kawan agar mau pindah pilihan. Meskipun itu hanya sebatas bercanda, tidak akan jadi obrolan serius semacam tim sukses. Kami sama sama tahu bahwa pilihan kita pada salah satu capres, berdasarkan kedekatan emosional, siapa yang paling mewakili karakter pribadi kita, itulah yang condong kita pilih, sekalipun dikata program dan visi misinya tidak jelas, yang namanya suka ya suka, tidak akan tergoyah oleh janji-janji capres lainnya. 


Begitulah manusia, punya kecenderungan pilihan berdasarkan emosional. Dalam pergaulan juga lebih memilih teman yang nyambung. Sehingga sampai saat ini, Suwito lah yang lebih dekat sama aku dibandingkan teman lainnya. Bercanda dengan teman yang tidak sefrekuensi sangat rawan tersinggung, bukan cuma itu, bisa jadi masalah besar kalau merembet diceritakan ke orang lainnya, sedangkan teman yang sefrekuensi akan bisa merahasiakan hal-hal apa yang tidak perlu disampaikan ke orang di luar sirkel. 


Hari Kamis pukul 11.00 kami janjian di salah satu tempat makan yang ada di kota ini. Sampai di lokasi, Suwito duduk berhadapan dengan bu Nela. Mereka berdua asyik ngobrol, sambil menunggu makanan datang. Sesekali aku ikut ngobrol, menyahut kalimat yang disampaikan Suwito, atau merespon kalimat dari bu Nela. Juga dengan kawan-kawan lainnya, aku ajak ngobrol, biar tidak terlalu mengganggu Suwito yang sedang asik berbincang sama bu Nela. Meski Suwito tidak memberitahuku sebelumnya, aku paham kalau ini adalah momentum yang digunakan untuk mendekati bu Nela. Baru pertama ini Suwito memberanikan diri untuk mengajak bu Nela makan-makan. Setelah makanan datang, kami semua langsung melahap menu ayam panggang dan berbagai sayur khas jawa yang dihidangkan. Pas di jamnya orang lapar, tepat jam makan siang, semua makanan ludes dalam waktu singkat. 


Usai semua kenyang dan selesai makan, Suwito berdiri, kami semua ikut berdiri. Ternyata dia berdiri bukan untuk bayar ke kasir, tapi berdiri karena mengangkat telpon dari ponsel. Kami semua saling lihat, heran. Suwito jalan keluar sambil asyik telpon di luar ruang makan. Tanpa pikir panjang, bu Nela langsung menuju meja kasir, disusul teman-teman lainnya. Yang artinya membayar apa yang sudah dimakan. 


Semenjak kejadian itu, aku akan selalu ingat, jika Suwito ngajak makan, artinya aku harus siap uang, ajakan makan dari Suwito bukan berarti itu ditraktir. Aku pun juga sudah minta maaf ke teman-teman, karena waktu mengajak mereka, aku bilangnya merayakan ulang tahunnya Suwito. Ternyata malah kita-kita yang bayar makanannya. Begitulah pengalamanku dengan Suwito, orang yang asyik diajak ngobrol tapi ada sisi menjengkelkannya juga. 


Makan siang itu ternyata menjadi makan siang pertama sekaligus terakhir antara Suwito dan bu Nela. Semenjak kejadian itu, aku malas diajak makan-makan sama Suwito, pikirku daripada makan bareng Suwito mending aku makan sama pacarku, sama sama bayar, tapi asik ngobrol sama orang paling spesial. Bu Nela pun, sekarang juga terlihat akrab dengan pak Heri, mungkin jengkel juga dengan sikap Suwito. Aku rasa yang membuat Suwito kehilangan teman-teman sefrekuensi, karena sikapnya sendiri, bukan hanya dari kejadian makan siang saja. Tapi dari rentetan peristiwa dan sikapnya dalam menjalin pertemanan. 


*****


Sepuluh tahun kemudian, aku mendengar kabar Suwito telah meninggal, karena sakit jantung. Aku pergi melayat ke makamnya. Tidak terlihat istrinya di lokasi pemakaman, info yang aku dengar, ternyata Suwito sudah bercerai dengan istrinya, dan istrinya telah menikah dengan bosnya, meski hanya berstatus sebagai istri simpanan. Sedangkan anaknya yang hanya satu, belum pulang, kabarnya kerja di Amerika. Sedangkan bu Nela juga sudah meninggal tahun lalu. Di pemakaman, aku tak melihat orang-orang yang aku kenal. Memang setelah Suwito pensiun, ia seperti hilang dari peredaran, jarang terlihat di kalangan teman-teman. 


“Semoga kamu tenang di sana, dunia ini memang kejam padamu, semoga kamu temukan wanita idaman di alam keabadian, misal yang kamu sukai masih tetap bu Nela, selamat bertemu dengannya, kalian berdua bisa makan-makan sepuasnya di surga, berdua selamanya tanpa diganggu pihak ketiga.” Sambil aku siramkan air kelapa muda itu ke tanah, lalu aku letakkan lagi kelapa itu di samping patok nisan kuburannya. 


“Maaf pak, panjenengan apa keluarganya pak Suwito?” tanya seorang penggali kubur yang mendatangi aku. 


“Bukan pak, saya sahabatnya almarhum sewaktu masih hidup, juga teman sekantornya dulu” jawabku menjelaskan


“Kalau begitu kebetulan bapak, ini biaya pemakamannya belum dibayar” mataku melotot, heran. (*)



 


Posting Komentar

0 Komentar