005

header ads

[TERBAIK] Puisi Marwanto HARI NELAYAN NASIONAL 2022

 

Ombak yang Tak Lagi Galak

 

untuk kesekian kali

di pagi yang berkabut

ia tak beranjak melaut

sepi merajam hati

 

pada perahu-perahu yang terparkir lesu

ia tambatkan rindunya yang berdebu

rindu karena tak bisa lagi bertemu

dan berkejaran dengan ganasnya ombak

:ia telah merelakan nasibnya berjarak

dari pelukan orang-orang tercinta

bertaruh nasib, demi dapur agar tak nganga

tapi ia senang, karena jika petang menjelang

sekujur kelelahan akan berganti jadi keriangan

bersama ikan-ikan besar yang ia bawa pulang

untuk anak dan isteri tersayang

 

namun di pagi itu

pagi yang kesekian kali

pagi yang masih berkabut

ia tak pergi melaut

 

bahkan sekedar menengok pantai

 :baginya tempat paling damai

ia harus melangkah dengan berat dan gontai

karena laut tak lagi menyimpan ombak

yang galak menggertak

ombak di laut tinggal alunan air lembek lamban

karena di balik ombak tak ada lagi ikan-ikan

yang bisa diajak bercanda kegirangan

 

“kenapa ayah tak pergi melaut...?”

 

ia pandangi wajah anak-isteri

                        :masih pucat pasi

lalu ingatannya tertuju berita televisi

kapal-kapal besar milik para saudagar

mengangkut isi laut hingga ke dasar

 

untuk kesekian kali

mereka dibayang-bayangi ikan teri

 

Wisma_Aksara 2021


Marwanto, menulis  esai, cerpen, puisi, dan resensi buku yang dimuat di koran (Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Pos Bali, Minggu Pagi, Koran Sindo, Pikiran Rakyat, Mercusuar, Metro Sulawesi, Solo Pos), majalah (Gatra, Gong, Syir’ah, Mata Jendela, Pagagan, Suara Hidayatullah, Hai), tabloid (Adil) buletin (Ikhtilaf, Lontar, Pawon) maupun media online (basabasi, detikcom, cendananews, lensasastra, dll). Menggerakkan aktivitas sastra lewat Lumbung Aksara, mengetuai Forum Sastra-Teater Kulonprogo  serta membina komunitas Sastra-Ku. Buku puisinya terbaru:  Kita+(Duh)-Kita (puisi, 2022). Puisinya yang berjudul “Celengan Jago Warisan Ibu” meraih juara pertama Pekan Literasi Bank Indonesia 2020. Tinggal di Kulonprogo Yogyakarta.



*****

Ulasan : Ardi Wina Saputra 

"Beribu pada Rahim Lautan"

 

Puisi bertajuk “Ombak yang Tak Lagi Galak” mengajak pembaca pulang ke rahim laut. Laut dan segala kecerdasan masyarakat yang mengikutinya memang telah terdegradasi ketika kolonialisme menginjak bumi Nusantara. Melalui kolonialisme ditambah dengan industrialisasi, kecerdasan maritim masyarakat Nusantara saat itu seolah disubtitusi oleh dominasi kecerdasan agraris. Kemampuan membuat kapal rasaksa hingga armada laut-pun semakin berkurang. Fokus matapencaharian masyarakat berpindah, dari nelayan menuju petani. Itulah sebabnya “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” menjadi lagu penanda memori kejayaan masa lalu kemaritiman Indonesia. Berkaitan dengan fakta-fakta tersebut, puisi “Ombak yang Tak Lagi Galak” mengembalikan memori pembaca untuk bersedia beranak susu di pangkuan almamater laut.

Marwanto sebagai penyair mampu bertangkap lepas dengan makna sehingga  suara nelayan yang berkeluh kesah ke haribaan laut, terdengar jelas di hadapan pembaca. Sastra, dalam hal ini puisi, mampu menyuarakan suara yang tak bersuara (voice of voiceless). Dengungan keluh kesah tersebut telah terpatri sejak bait pertama, khususnya pada dua baris terakhir;

“ia tak beranjak melaut

sepi merajam hati”

 

Tidak melaut, bagi seorang nelayan berarti tidak bekerja. Akibat dari tidak bekerja tentu membuat kondisi perekonomian nelayan tersebut rapuh, dan itu sangat berdampak bagi kelangsungan hidupnya dan keluarganya.  Bukti lainya yang menyiratkan suara nelayan ada pada baris berikut;

 

 “ia harus melangkah dengan berat dan gontai

karena laut tak lagi menyimpan ombak yang galak menggertak”

 

“Kegalakkan ombak” merupakan sesuatu yang dirindukan didambakan oleh nelayan. Bagi masyarakat yang tak karib dengan laut, ombak yang galak mungkin dianggap berbahaya, tapi bagi nelayan tidak. Kecakapan berlaut yang dimiliki nelayan membuatnya mampu berdelibrasi dengan ombak yang galak sehingga ia memperoleh banyak ikan.  Laut, ombak, dan seisinya merupakan ibu kehidupan bagi para nelayan. Permasalahan timbul ketika ombak tidak lagi galak.

 

Keluh kesah yang disuarakan oleh nelayan tersebut bukanlah tanpa sebab. Di akhir puisi, disampaikan keberadaan kapal-kapal besar yang telah membabat habis seisi lautan hingga ke dasar. Laut sebagai rahim lengkap dengan susu sumber kehidupan telah dikeduk habis oleh maskulinitas kapal-kapal besar sehingga  anak-anak yang menyusu dalam naungan laut harus meronta jiwanya, seperti nelayan dalam puisi ini.

 

Nasib nelayan dalam “Ombak yang Tak Lagi Galak” merupakan keberhasilan penyair menciptakan realitas baru berdasarkan akumulasi realitas lama ditambah dengan imajinya. Metafora “ombak” tak sekedar hadir sebagai pemanis apalagi pelengkap,  tapi mampu menjelma sebagai konstruksi artifisial pada kondisi laut yang jarang dilihat orang. “Ombak yang Tak Lagi Galak” mengajak kita sebagai pembaca untuk menyadari kekecewaan nelayan yang bermimpi dan bersoliloqui pada laut dan seisinya.

Penulis : Ardi Wina Saputra

Pengajar di Universitas Katolik Widya Mandala






 

Posting Komentar

0 Komentar