005

header ads

CERPEN: Rampok | Karya Wahyu Arshaka

Malam sudah begitu larut ketika Daryo, Cimeng dan Linggo berhasil memasuki rumah setelah mendongkel pintu dengan susah payah. Sementara Nunik nunggu di mobil avanza sewaan, Nunik terlihat siaga dibalik kemudi sambil matanya terus melihat-lihat keadaan sekeliling. Mereka adalah komplotan perampok yang jadi buruan polisi saat ini. Aksi-aksinya yang berhasil merampok rumah-rumah yang ditinggal mudik pemiliknya membuatnya menjadi bahan liputan media massa dan membuat resah warga ibu kota.


Udara tengah malam terasa mati, pohon-pohon pun terlihat bagaikan patung, tak ada angin yang menggoyang-goyangkan daun. Sementara itu di dalam rumah, Daryo terlihat kepanasan, keringat menderas membasahi wajahnya yang legam.Dia hempaskan tubuhnya ke sofa, dinyalakannya AC yang menempel di atas televisi. Sementara Cimeng dan Linggo keliling seisi rumah memilih barang-barang yang bisa dijarah.


Daryo menyalakan rokok meski AC baru saja dinyalakan. Dihisapnya dalam-dalam sambil melihat-lihat keadaan seisi ruang tengah. Tak ada barang murah terlihat. Dari jam dinding, lemari, lukisan, meja dan sofa yang didudukinya, semuanya barang mahal. Bahkan harga sofa kulit yang diduduki itu lebih mahal dari rumah Daryo yang ada di pinggiran kota. Lukisan-lukisan karya pelukis ternama, menghiasi sudut-sudut ruangan. Namun ada satu lukisan yang terlihat biasa saja, menempel di dinding dekat piano. Justru lukisan itu yang membuat Daryo tertarik. Dia bangkit dan berjalan mendekat, lantas berdiri mengamati lukisan itu. Sebuah lukisan lelaki tua mengenakan peci hitam dan memegang sebilah keris.


“Sialll !” makinya gusar.


Lantas Daryo berjalan menghampiri deretan foto yang ada di atas lemari pajangan. Diamatinya satu-satu, rasa kesal membuat gerahamnya terlihat mengeras. Bunyi gigi beradu terdengar ngilu.


Diambilnya foto dalam figura, foto seseorang yang mengenakan jas safari sambil memegang gelas berisi anggur merah. Dibantingnya foto itu hingga bunyinya membuat Cimeng dang Linggo tersentak.


“Linggo, Cimeng!” teriak Daryo.


Linggo dan Cimeng bergegas datang, Linggo membawa koper dan Cimeng memangku kotak perhiasan. “ Ada apa sih” tanya Linggo dan Cimeng serempak.


“Kita cabut, tinggalkan hasil rampokan itu!”


“ Kau gila!”  seru Cimeng.


“Sudah jangan membantah, nanti aku jelaskan!” Ujar Daryo sambil bergegas pergi.


Dengan terpaksa Linggo dan Cimeng mengikuti. Dilemparnya koper dan kotak perhiasan hingga isinya berhamburan.


******


Dalam mobil keadaan nampak tegang. Semuanya menghisap rokok, bahkan Cimeng terlihat sambil meminum arak. Nunik yang membawa mobil memuntahkan kemarahan dengan menekan gas dalam-dalam.


“Pelankan mobilnya!” Bentak Daryo.


Nunik menurut, meski rasa kesal masih menumpuk. “Abang mau menjelaskan, kenapa bisa mendadak insyaf?”


“Aku tidak insyaf!” Daryo kembali menghisap rokok.”Tadi itu rumah saudaraku.”


“Bah bagaimana bisa, kalau itu saudara, kenapa kau tidak tahu dari awal!” Timpal Cimeng.


“Kalau pun ada, kamu sudah tidak diakui oleh mereka, sudah dianggap sampah.” Ujar Linggo terdengar sinis.


“Sekarang diamlah, nanti aku jelaskan semua di markas!” Timpal Daryo sengit.


Semua terdiam, memendam amarah dalam-dalam. Terutama Daryo, tidak hanya amarah yang berusaha dia redam, tapi kalutnya pikiran berusaha disingkirkan. Dia sama sekali tidak menduga akan merampok rumah saudara sendiri. Lukisan lelaki tua berpeci hitam dengan keris di tangan, itu Sasongko, kakek buyutnya. Lukisan itu yang selalu terpampang bila ada pertemuan keluarga besar Sasongko. Daryo sudah lama tidak mengikuti pertemuan keluarga Sasongko, semenjak memutuskan untuk menjadi Rampok. Bahkan nama Sasongko dibelakang namanya sudah dia buang, berganti menjadi Zibenk. Daryo Zibenk itulah nama yang disebut polisi, sebagai pemimpin perampok yang meresahkan ibu kota.


*****


Empat kawanan rampok, kini duduk melingkar di ruangan temaram. Aroma asap rokok dan arak berbaur menjadi satu. Daryo dengan wajah dingin membuka pembicaraan.


“Tadi di rumah itu ada lukisan kakek buyutku, namanya Sasongko, aku juga melihat foto seseorang yang pernah kukenal, aku lupa namanya. Tapi wajahnya mirip dengan Pakdeku,” Daryo diam sejenak, menghisap rokok dan menegak arak.” Nunik kamu yang survey, kamu tahu siapa pemilik rumah itu.”


“Haryadi Sasongko, seorang anggota dewan dan juga pengusaha. Sedang diperiksa KPK, diduga terlibat korupsi pupuk urea.”


“Ternyata sama saja, rampok juga.” Ujar Cimeng sinis.


“Diam kau!” bentak Daryo.


“Kau sudah tak punya saudara. Kau masih ingat ketika istrimu meregang nyawa di rumah sakit, melahirkan anakmu. Kau butuh uang untuk biaya operasi. Saudaramu tidak ada yang bantu. Lalu kau nekat mencuri motor di pelataran rumah sakit, tertangkap, digebukin nyaris mati. Lalu kau masuk penjara bertemu aku di sana. Istri dan anakmu tidak tertolong, mereka pulang ke alam baka.” Linggo membuka lama.


Daryo terdiam, Ingatannya kembali Pada peristiwa yang tidak mungkin dia lupa, peristiwa yang membuat hidupnya berubah dalam seketika. Dulunya Daryo adalah orang baik-baik yang taat beribadah dan bekerja sebagai sopir angkot. Tak ada yang menduga kalau dia akan menjadi perampok, termasuk Daryo sendiri. Bahkan iblis pun mungkin kaget setengah mati bila tahu Daryo menjadi rampok.


Berawal ketika istrinya harus melahirkan anak pertamanya lewat operasi, Daryo gelap mata. Tak ada uang yang dia pegang untuk membayar rumah sakit. Tak ada saudara yang membantu atau sekedar datang. Tetangga dan teman begitu juga. Pada saat itulah terlintas untuk mencuri motor di parkiran rumah sakit.


Dalam gelisah yang tak kunjung reda dan pikiran kalut. Niat jahat itu menjadi jalan keluar yang diambilnya. Tapi naas, aksinya kandas. Satpam rumah sakit menggagalkan aksinya dan masa menghakiminya hingga terkapar bersimbah darah, lalu tak hanya saudara, tetangga bahkan penduduk Republik ini  menganggapnya laki-laki bedebah. “Istri meregang nyawa suami bedebah mencuri motor.” Itu judul berita di Koran kriminal. Akhirnya Daryo diciduk polisi sedangkan istri juga anaknya pergi ke pangkuan Ilahi.


Daryo menghela napas dalam,”Baiklah, besok kita kembali ke rumah itu. Tapi aku peringatkan bila ada penghuninya, jangan sampai ada yang kalian bunuh!”


Semuanya serempak manggut-manggut dalam kondisi mulai mabuk.


******


Malam sudah menginjak pukul dua belas. Empat orang perampok kembali beraksi, menuntaskan aksinya yang tertunda kemarin. Tapi kali ini berbeda, setelah Daryo, Cimeng dan Linggo berhasil masuk. Tiba-tiba terdengar letupan pistol dari arah tangga, lantas Daryo terlihat sempoyongan. Linggo langsung mencabut pistolnya yang terselip di pinggang.


“Jangan!” bentak Daryo sambil tangan kanannya menekan bagian pundak yang mengeluarkan banyak darah.


Linggo terdiam sambil mengokang pistol dan Cimeng siaga pasang kuda-kuda.


“Kalian berdua lari!” Daryo kembali membentak,”Lariiiiiii…!”


Linggo dan Cimeng langsung lari menuju mobil yang sudah siap melaju. Sementara Daryo memilih diam, menunggu penembak itu datang.


“Tembak aku Yadi!” ucap Daryo sambil mengamati sekeliling.


Seseorang perlahan mendekat sambil menodongkan pistol,”Mas Daryo!” gumamnya nyaris tak terdengar.


“Kamu masih ingat aku Haryadi Sasongko!” Daryo tersenyum sinis,”Pasti kamu tidak akan berani membunuh cucu dari Eyang Sasongko ini. Kamu takut nama baik keluarga Sasongko dan nama baikmu hancur, karena orang akan tahu salah seorang keluarga Sasongko adalah rampok yang ditembak mati oleh saudaranya sendiri.”


Daryo diam sejenak sambil cengengesan.


“Aku pamit.” Ujar Daryo sambil melambaikan tangan.


Daryo perlahan memutar tubuhnya dan berjalan tertatih sambil tangannya terus menekan luka di pundaknya tempat peluru bersemayam.


“Dor! Dor!” dua peluru melesat menembus jantung Daryo.


Daryo terkapar menggelepar menjemput ajal. Haryadi Sasongko berjalan mendekat.


“Kamu salah Mas Daryo, justru kematianmu menyelamatkan nama baik keluarga dan nama baik aku!”


******


Ketika pagi, berita di Koran dan televisi mengatakan “ Daryo Zibenk, pimpinan rampok tewas ditembak Haryadi Sasongko dalam aksi yang heroik. Mayat Daryo Zibenk akan dimakamkan polisi karena tidak ada saudara yang mengambil.”





*Wahyu Arshaka

Penulis seorang pengajar di Sekolah Dasar Islam Terpadu, cerpen-cerpennya dipublikasikan di media cetak dan online. Tinggal dan bergiat di Karawang.


D:\P USEP\foto baru.jpg

Posting Komentar

0 Komentar