005

header ads

KARYA TERBAIK MINGGU INI: TANAH SUCI - Oleh: Mulia Ahmad Elkazama



TANAH SUCI
Oleh: Mulia Ahmad Elkazama

Langit merah saga. Sesekali awan menghitam legam diiringi suara ledakan. Peluru beterbangan seperti kumpulan kelelawar. Riuh rendah jerit tangis membahana, memenuhi angkasa raya.
“Semuanya mundur! Selamatkan para warga!”
Sebuah teriakan keras itu seolah tertawan rasa takut yang mencekam.
“Mas, apa yang harus kita lakukan? Kita sudah terkepung. Tidak ada jalan keluar!” ujar seorang prajurit setengah merintih karena luka di tubuhnya. Sang komandan yang dipanggil ‘Mas’ terdiam sejenak.
“Bawa warga ke perbatasan desa. Aku akan mengecoh para penjajah itu,” kata Sang Komandan, tegas. Tanpa ragu, prajurit bersimbah darah itu bergegas menemui warga yang kebanyakan para wanita dan anak-anak. Mereka telah diamankan di sebuah tempat peribadatan. Bersama prajurit yang lain, warga dibawa ke perbatasan desa.
“Prana!” seru seorang perempuan kepada prajurit yang terluka itu. Ia pun menoleh.
“Rumi?” lirih Prana.
“Bagaimana keadaan suamiku, Prana?” tanya Rumi yang berbadan dua. Prana terdiam. Ada gurat cemas terlukis di wajahnya.
“Mas Jaka akan baik-baik saja, Rum. Tenanglah. Sekarang, kita evakuasi warga ke perbatasan desa lewat jalur rahasia. Ayo, tidak ada waktu lagi,” kata Prana sambil menggamit tangan Rumi. Sementara hati Rumi diliputi rasa khawatir yang luar biasa.
“Jangan biarkan anakmu ini lahir tanpa bapak, Mas,” batin Rumi seraya mengelus-elus perut buncitnya.
Tanpa diduga, sekelompok prajurit datang membantu dan bergabung bersama warga, berjuang mempertahankan tanah leluhur mereka. Pertempuran sengit terjadi. Banyak warga meregang nyawa di medan perang. Namun, sebagian yang lain semakin gigih mengusir penjajah dari desa demi kemerdekaan anak cucu mereka nanti. Alhasil, semangat dan kerja keras mereka-para warga dan prajurit bantuan-tidak sia-sia. Penjajah kalang kabut dan meninggalkan desa dengan langkah seribu.
“Bagaimana Mas Jaka, Prana? Apakah kamu menemukannya?”
Setelah keadaan sedikit membaik, kembali Rumi bertanya. Prana bungkam seribu bahasa, tak tahu harus menjawab apa. Ia tidak ingin melihat Rumi bersedih hati karena akan mengganggu perkembangan janin dalam kandungannya. Namun, Rumi bisa membaca mata Prana yang menatapnya penuh rasa iba. Perempuan muda itu pun menangis sambil memegangi perutnya.
---
Butiran bening meleleh dari kedua mataku. Ada rasa haru mengaduk-aduk kalbu. Kisah demi kisah yang dituturkan seorang wanita renta membuatku tak bisa berkomentar apa-apa. Sikap pahlawan dalam kisah itu benar-benar menelanjangi diriku.
“Lalu, apakah Mas Jaka kembali, Nek?” tanyaku parau. Wanita berusia lanjut itu tersenyum tipis seraya mengusap bulir-bulir embun yang menuruni kedua pipinya. Pandangan matanya menerawang jauh. Sepertinya ia enggan menjawab pertanyaanku. Perih, mungkin itu yang ia rasakan sekarang.
“Oh ya, kenapa kamu datang kemari? Nenek yakin kamu punya alasan lain selain ingin mengunjungi wanita bau tanah sepertiku ini?”
Aku tersentak. Nada bicara Nenek terkesan menyelidik. Atau jangan-jangan ia bisa membaca pikiranku?
“Desa ini adalah peninggalan leluhur kami. Darah tumpah, nyawa pun melayang demi memerdekakan tanah ini dari tangan para penjajah. Aku tidak rela siapa pun merebutnya!”
Kembali aku terhenyak. Bagaimana ia tahu tujuanku datang ke desa ini?
“Tapi, proyek ini juga salah satu usaha pemerintah untuk mengenang perjuangan para pahlawan, Nek,” jelasku.
“Damar!” seru nenek dengan nada tinggi dan bola mata membulat. Bibirnya bergetar.
“Apakah ibumu tidak pernah bercerita bagaimana kakekmu memperjuangkan tanah ini demi kalian?” Nada suara nenek semakin tinggi. Aku terdiam.
“Jangan karena kalian telah menjadi orang besar, lalu menjual tanah penuh kenangan juang ini seenak perut. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyerah untuk mempertahankan semua ini!” lanjut nenek. Sorot matanya memandangku nanar. Lagi-lagi aku bungkam. Ada pergulatan hebat terjadi dalam hatiku.
Malam kian larut. Sedetikpun mataku sulit terpejam, seperti ada sebatang korek api mengganjal kelopak mata. Deretan kejadian demi kejadian masa silam, terekam dalam benakku. Kisah seorang pahlawan kemerdekaan bernama Jaka Pinurba yang rela berkorban demi menyelamatkan nyawa warganya. Juga perjuangan seorang wanita bernama Rumi dalam sebuah penantian panjang menanti suami kembali dari medan perang, dan bagaimana ia membesarkan anaknya seorang diri, yang tak lain adalah ayahku sendiri, Bayu Pinulung.
Tiba-tiba handphone-ku berdering.
“Gawat, Pak Damar!” suara di seberang. Panik.
“Ada apa, Jon?” tanyaku ikutan panik.
“Pak Danuar besok ingin ke lokasi, Pak! Jadi, mau nggak mau warga harus meninggalkan desa esok pagi,” tutur Jono, pesuruhku
“Tapi, warga belum membebaskan tanah itu, Jon.” Sanggahku. Perbincangan pun berakhir. Aku bingung bukan kepalang. Antara proyek Pak Danuar, pengusaha kaya raya atau tanah leluhurku, tempat di mana ayahku dilahirkan. Kalau aku memilih membela yang nomor dua, tentu akan mengecewakan hati ibundaku tercinta. Sebab, ibu sangat berharap aku mendapatkan tanah itu tanpa kesulitan.
Berkali-kali aku memeras otak mencari jalan keluar, tapi belum juga menemukan solusi yang tepat. Hatiku bimbang. Ada semburat rasa keberatan jikalau tanah penuh kenangan itu dijadikan proyek perusahaan tempatku bekerja. Tapi, sebagai anak buah yang dipercaya memegang proyek ini, aku tak boleh menyia-nyiakannya begitu saja. Terlebih ibu begitu dekat dengan Pak Danuar, lelaki tua yang usianya terpaut beberapa tahun di atas ibu. Lalu, apakah demi popularitas itu aku mengorbankan tanah leluhurku sendiri? Tanah yang dibela dengan kucuran darah dan nyawa para pahlawan tanpa penghargaan? Hati nuraniku benar-benar tak menerima!
---
“Pembebasan tanah nenekmu sudah beres?” tanya ibu ketika sarapan pagi.
“Aku ragu bisa memenangkannya, Bu,” jawabku. Spontan ibu menggebrak meja makan.
“Kamu jangan lemah. Kamu laki-laki tulen dan hebat. Jangan kalah dengan wanita bau tanah itu,” kata ibu sedikit kasar.
“Tapi beliau yang melahirkan Ayah, Bu,” sanggahku. “Wanita renta itu mertua ibu sendiri, kan? Nenek kandung Damar!” lanjutku dengan nada sedikit tinggi. Ibu menatapku tajam. Matanya membulat. Gejolak amarah begitu terasa bergejolak dalam dadanya.
“Kamu berani melawan ibu sendiri, Damar? He?” ucap ibu. Aku terdiam. Detik kemudian, melangkah pergi meninggalkan ibu sendiri.
---
Aliran sungai mengalir begitu syahdu. Sesekali terdengar gemericiknya saat berjatuhan di dataran yang lebih rendah. Angin pun sepoi menerpa wajahku, menghapuskan penat yang bergelayut pada batang hatiku. Aku bisa bernapas lega pagi ini, sebab Pak Danuar membatalkan kunjungannya melihat lokasi tanah yang ingin dikuasainya lewat tanganku.
“Banyak yang tidak kamu ketahui tentang Ibumu, Nak.” Ujar nenek lirih, namun terdengar begitu jelas di telingaku.
“Apa maksud nenek?” Aku menautkan kedua alis mata, tanda tak mengerti. Kemudian kami berdua duduk di sebuah batu besar yang berada di tepi sungai. Kisah demi kisah nenek tuturkan begitu memukau. Fakta pun ia beberkan seperti menayangkan sebuah film bioskop, jelas dan gamblang. Mendengar apa yang dituturkan nenek, aku tak hentinya dikejutkan dengan realita yang ada. Aku benar-benar tak menyangka bahwa ada konspirasi dalam kematian Ayah. Sebuah kejadian yang membuatku shock.
“Jadi, Ayah dibunuh, Nek?” tanyaku sedikit gusar. Nenek mengangguk.
“Tapi nenek tidak punya banyak bukti untuk memberitahumu siapa pembunuhnya,” kata nenek.
“Aku akan cari tahu sendiri. Nenek jangan khawatir,” ucapku mantap.
---
Seperti malam-malam sebelumnya, mataku sulit terpejam. Beberapa fakta yang disampaikan nenek sangat mengganggu pikiran. Niat untuk balas dendam pun mulai menjalari diriku. Kematian Ayahku beberapa tahun lalu memang menyisakan kejanggalan dan tanda tanya besar. Aku sempat curiga pada seseorang, tapi tak punya cukup alasan untuk membuktikannya. Aku harus mencari tahu sendiri. Ya, itu jalan satu-satunya.
“Jon, tolong awasi dan jaga nenekku. Kalau ada hal yang mencurigakan, segera hubungi aku,” pintaku pada Jono yang bertugas mengawasi Nenek.
“Jangan khawatir, Pak. Saya akan mengawasinya,” balas Jono. Aku pun lega. Baru beberapa detik memejamkan mata, Jono menelpon.
“Gawat, Pak! Nenek Anda hilang,” kata Jono panik. “Lebih baik Bapak lekas kemari,” lanjutnya. Aku pun menutup telpon dan segera menyambar jaket dan kunci mobil. Detik kemudian, meluncur ke tempat tinggal nenekku.
“Ke mana nenek, Jon?” tanyaku setelah sampai di lokasi. Jono menggeleng. Salah satu warga yang mengetahui kejadian itu bertutur, bahwa beberapa jam sebelum nenek menghilang, ada seorang wanita berambut sebahu dan dua lelaki berpakaian serba hitam mendatangi rumah nenek. Warga tidak ada yang berani mencari tahu karena masih trauma dengan serangan misterius yang dilakukan orang tak dikenal beberapa hari yang lalu. Ya, pasca penolakan warga tentang pembebasan tanah leluhur mereka, teror dan gangguan sering terjadi.
“Maaf, Pak. Saya terlambat,” ucap Jono.
“Tidak apa. Ini bukan salahmu,” kataku. Kecemasan melanda hatiku. Nenek merupakan satu-satunya orang yang kumiliki saat ini. Seorang wanita berusia setengah abad lebih yang telah mengajarkan arti kehidupan dan pengorbanan kepadaku. Kini, keselamatannya terancam karena mempertahankan apa yang harus ia pertahankan. Demi warga, anak cucu, dan perjuangan para pendahulunya-termasuk suami-ia rela mempertaruhkan nyawa.
“Besok pagi kita cari informasi. Sekarang istirahatlah dulu, Pak.” Ujar Jono. Aku pun merebahkan diri di tempat tidur nenek ditemani Jono dan dua warga yang masih berjaga di ruang tamu. Sekelumit kisah yang pernah diceritakan nenek beberapa hari yang lalu, berputar di benakku.
---
Langit siang itu berubah pekat. Gumpalan asap hitam menjelaga di angkasa. Suara mesiu dan peluru kian memekakan telinga. Bom dan granat makin menambah ngeri suasana.
“Prana, selamatkan warga. Biar aku yang mengecoh penjajah,” ucap seorang komandan. Bukannya segera melaksanakan perintah sang komandan, Prana menyeringai tajam seperti serigala hendak menerkam mangsa.
“Ada apa denganmu?” tanya sang komandan.
“Maaf, Mas Jaka, aku harus melakukannya,” kata Prana seraya menusukkan sebilah belati, tepat di jantung sang komandan, yang tak lain adalah Mas Jaka, sahabatnya sendiri. Setelah Jaka meregang nyawa, Prana pun menuju ke tempat persembunyian warga.
“Prana, bagaimana keadaan Mas Jaka?” Seorang wanita yang tengah berbadan dua bertanya tentang keadaan suaminya. Prana enggan menjawab.
“Aku sudah menghabisi nyawanya, Rum. Maaf, ini aku lakukan karena aku begitu mencintaimu dan tak ingin kehilangan dirimu,” gumam Prana dalam hati.
Keadaan desa semakin membaik. Prana berusaha menghibur Rumi yang sedang lara menunggu sang suami kembali. Ia tak ingin janin dalam kandungan Rumi mengalami gangguan, sebab akan mengancam nyawa wanita yang dicintainya. Perhatian dan kasih sayang Prana curahkan untuk meluluhkan hati Rumi. Setelah jabang bayi lahir, Prana semakin gencar mencari muka di depan ibu dari anak sahabat yang telah dibunuhnya itu. Berkali-kali Prana membujuk Rumi untuk menikah dengannya, tapi janda beranak satu belum bisa melupakan mendiang suaminya.
“Apa sih istimewanya Jaka? Percuma kamu menunggunya kembali. Dia sudah mati.” kata Prana geram dengan sikap Rumi yang tak merespon niat baiknya.
“Kamu jangan bicara sembarangan, Prana!”
“Dia benar-benar sudah mati, Rum.” Jelas Prana dengan muka serius.
“Tidak. Kalaupun apa yang kamu katakan itu sebuah kebenaran, sampai kapanpun aku tetap mencintainya dan setia padanya. Jadi, jangan berharap kamu bisa menikahiku,” tegas Rumi. Prana mengamuk. Tubuh Rumi yang lumayan mungil itu dianiaya hingga darah segar bercucuran dari mulut dan hidungnya.
“Ingat, wanita bedebah! Aku akan membalas rasa sakit ini. Akan aku lenyapkan tanah suci ini. Ingat itu, Rumi!” kata Prana mengancam penuh emosi. Ia pun menghilang dari kehidupan Rumi. Beberapa tahun berlalu, Prana telah memiliki istri dan seorang anak lelaki, yang ia beri nama Danuar Pranajaya.
---
Dua hari sudah nenek menghilang. Pagi ini aku berencana mendatangi kantor polisi untuk meminta bantuan. Kulihat ibu sedang menelpon seseorang saat aku ingin berpamitan. Lamat-lamat kudengar perbincangan ibu.
“Mas, bagaimana ini? Damar masih belum menyerah. Ia terus mencari Nenek peot itu. Atau kita habisi saja wanita bau tanah yang sangat menjengkelkan itu agar dendam Ayah terbayarkan?”
Dadaku bergemuruh. Tulang belulangku remuk redam. Apa yang baru saja kudengar dari mulut ibu, bagaikan petir yang menyambar tubuhku. Menyulut kobaran api dalam hatiku. Aku benar-benar tak menyangka ibu sekejam itu!
“Baiklah, Mas. Aku menurut saja. Lagi pula, Mas Bayu sudah kita lenyapkan. Tinggal si nenek renta itu.” lanjutnya sebelum menutup telepon.
Aku masih berdiri di balik dinding, tak jauh dari tempat ibu menelpon. Kulihat ibu meletakkan hand-phone-nya di meja dan pergi ke kamar kecil. Dengan sigap aku menyambar handphone tersebut dan mencari tahu siapa lawan bicara ibu yang dipanggil ‘Mas’ tadi.
Mataku terbelalak.
“Pak Danuar?! Kakak kandung Ibu?” Tubuhku lemas seketika.
__
Beberapa polisi mengamankan Pak Danuar dan Marlina, adik perempuannya, karena terjerat kasus pembunuhan berencana dan sejumlah kasus terselubung yang selama ini dijalankan oleh perusahaan yang dikelola lelaki tua bangka itu. Tatapan ibu begitu sinis kepadaku. Sepertinya ia sangat marah dan kecewa padaku. Ah, biarlah. Aku lebih kecewa pada orang yang telah mengakhiri hidup ayahku dengan bengis. Dan hampir saja aku kehilangan nenek Rumi, wanita yang telah melahirkan ayahku.
“Yuk, kita pulang, Nek,” kataku sambil merengkuh tubuh nenek setelah polisi membawa ibu dan Pak Danuar pergi ke lembaga pemasyarakatan untuk menunggu keputusan sidang akan kasus pembunuhan yang dilakukan mereka.
Tanah leluhur merupakan tanah suci. Tanah yang diperjuangkan dengan cucuran darah dan semangat kemerdekaan. Meskipun aku terlahir dari rahim perempuan yang ingin membumi-hanguskan tanah ini, tapi aku adalah benih dari lelaki yang terlahir dari rahim cinta seorang wanita perkasa nan setia. Rumiati, kenangan yang ditinggalkan oleh Jaka Pinurba, seorang pahlawan sejati yang begitu mencintai rakyat dan tanah leluhurnya.

Mojokerto, 31 Maret 2016


Penulis: Mulia Ahmad Elkazama
Lahir di Pati, Jawa Tengah. Penggemar serial Anime Naruto ini suka membaca dan menulis. Alamat domisili: PP. Darul Falah Jerukmacan Sawo Jetis Mojokerto, 61352. Email: mulia_ahmad79@yahoo.com.


Posting Komentar

0 Komentar