JATUH HATI (7)
Oleh: Dyah Kurniawati
Sepulang dari mengantar Pak RT melamar Sekar, masih terngiang bisikan pakdhe yang tak terduga. Aneh memang lakon di dunia ini, tujuannya melamarkan Pak RT, eh malah lamaranku yang masih tersimpan dalam hati yang diterima. Jadi mikir apakah pakdhe punya ilmu kebatinan, atau karena semesta lagi berdamai denganku. Kuputuskan untuk menunggu keputusan pihak Sekar. Setelah jawaban lamaran Bagaskara dan Pak RT sudah pasti, aku baru akan bertindak. Pelan tapi pasti sambil menyiapkan hati.
Malamnya tidak bisa tidur. Menyalakan TV untuk mengalihkan rasa, tapi pokus tetap ke rumah sebelah. Semakin malam hawa tambah panas, kubuka jendela mencari angin malam. Sayup-sayup terdengar gesekan biola yang lembut dari rumah sebelah, bersenandung Jatuh Hati-nya Fileski, lagu yang aku suka. Sepertinya selera kita sama, hem.
JATUH HATI
rindu bukan perkara jarak
bukan soal bertemu atau tidak
kamu adalah cahaya
nampak tapi berjuta jarak
dalam gelap aku diam
mengintip kau yang bersinar disana
aku selalu rindu kamu
meski kau tak pernah menganggapku
aku tak sanggup untuk katakan sayang
meski dalam hati ku ingin kau tau
mungkinkah aku sanggup menghadapimu
untuk mengaku aku jatuh hati
Mungkin Sekar sudah mulai aktif menulis lagi. Dulu pernah cerita kalau mood menulis muncul setelah bermain biola. Sembari menikmati buaian merdu biola, kupandangi tebaran bintang di angkasa yang tersenyum padaku, cantik sekali . Berharap ada satu bintang jatuh menemani malam sepiku. Sebagai teman keluh kesah, teman berbagi rasa, teman yang selalu mengerti. Ya, aku jatuh hati.
*****
Pagi hari saat akan mandi ternyata sabun habis dan tak ada persediaan. Urung mengguyur tubuh, kupakai lagi kaos yang baru kucopot. Agak tergesa menuju warung sebrang jalan membeli sabun. Hari masih pagi udara sangat segar, mentari mulai mengintai jagat. Di warung ternyata sudah banyak ibu membeli sayuran. Segera bergegas mencoba menghindari kerumunan kaum berdaster, trauma dikeroyok emak-emak. Berdegub kala kulihat Sekar juga berada di kerumunan, ngobrol sama ibu yang dulu berdaster merah yang waktu itu mencolek lenganku. Eh, sekarang dasternya warna hijau, heran sama diriku kok repot banget ngurusi daster istri orang. Ups.
Baru saja membayar sabun ada yang berteriak memanggil,
“Mas Gilarrrrr..., ini hlo ada Mbak Sekar.” Ternyata ibu berdaster itu lagi. Teriakannya menggelegar sampai semua menoleh padaku. Sekar pun terkejut, sesaat beradu pandang. Darah hangat mengalir ke sekujur tubuh, desiran halus terasa dalam dada, membuncah. Tertegun sesaat sampai ada suara mengagetkan dua hati yang berkelana,
“Howee, bangun...,bangun! Kok malah bertatapan, dunia milik berdua ciyeeee...,” ibu yang lain mengejutkankan aku dan Sekar yang saling terpana. Sekar terkejut, langsung memegang kangkung dan memilih tempe, sepertinya dia juga malu.
“Sudahlah Mas, nunggu apa lagi. Segera halalkan, kita dukung semua ya ibu-ibu...”
“Saaaaaaaah....”
“Gimana Budhe, mereka berdua cocok kaaan ?
“Banget, heheee...” jawab budhe sambil terkekeh.
Hlo, ada budhe juga, uh malunya. Segera kabur daripada kena bully para emak. Kasihan juga Sekar kalau juga terbully karena kemunculanku di kalangan mereka.
“Mari Buuu, saya duluan Budhe.” Ucapku seraya mencengkeram kresek putih isi sabun mandi.
“Mbak Sekar juga disapa ta Mas Gilar, jangan cuma budhenya...wkkkkk”
Gawat, emak-emak semakin brutal. Kutinggalkan mereka yang masih menertawaiku.
*****
Pulang kerja banyak daun berserakan, bahkan beberapa pohon pisang tumbang. Sepertinya hujan angin hebat tadi siang telah memporak-porandakan beberapa tanaman. Setelah ganti kaos dan celana pendek, segera kusapu halaman dan menyelamatkan beberapa tanaman yang masih bisa dirawat.
Tangan kanan menggenggam sapu, tangan kiri pegang cikrak, beres. Menengok halaman rumah sebelah juga berantakan, bawah pohon sawo banyak ranting berjatuhan. Kulihat pakdhe juga sedang mengangkat ranting dikumpulkan di pojok halaman. Kuhampiri dan membantu mengangkat ranting yang besar karena agak kesulitan, sebab sudah tidak muda lagi.
“Makasih Mas Gilar...,” kata Pakdhe setelah semua ranting berhasil disingkirkan.
Kami pun duduk di kursi kayu bawah pohon sawo, sekadar mengisi waktu luang menjelang senja. Obrolan semakin hangat kala budhe mengirim dua cangkir kopi hitam.
Setelah menyeruput kopi dan cangkir masih kupegang, pakdhe memulai obrolan,
“Kemarin lamaran Pak RT dan Bagaskara sudah dijawab oleh Sekar.”
Aku menatap pakdhe, penuh makna. Hampir saja muncrat sruputan kopi di mulutku. Masih diam sampai pakdhe meneruskan,
“Semua tidak ada yang diterima.”
“Oh....” hanya itu yang keluar dari bibirku.
Aku tidak bisa menggambarkan dan menguraikan rasa hatiku. Bingung dan tak berani menduga-duga arah bicara pakdhe. Berfirasat mengarah ke bisikan pakdhe waktu aku pamitan dulu. Getaran jantung tak terkendali. Sruputan kopi kedua berhasil menetralkan rasa yang hebat.
“Jadi gini Mas Gilar, seandainya ya..., umpama ehm...,” lanjut pakdhe terasa agak berat mengucapkannya.
“Gimana Pakdhe?’ aku makin penasaran melihat pakdhe yang senyum-senyum, menahan segala rasa dan ingin segera mengeluarkan.
“Sebenarnya saya dan budhenya Sekar suka sama Mas Gilar, ehm. Upama hlo ya..., upama Mas Gilar berkenan, anu..., ehm tapi tidak memaksa. Kami berharap Mas Gilar yang bisa menggantikan saya menjaga Sekar Kinasih.”
“Maksudnya bagaimana, Pakdhe?”
“Kalau berkenan saya mau titip Sekar. Semenjak orang tuanya meninggal hanya kami penggantinya. Takut umur tak panjang. Yang jadi pikiran jika saya dipanggil Gusti dan Sekar belum ada yang menjaga.”
“Dijaga, saya jadi satpam apa dijaga kaya anak kecil gitu Pakdhe? Hehehe....”
“Sesuka Mas Gilar lah, hahahhaaa.”
“Hahahah..., Pakdhe ini aneh-aneh.”
“Jujur, Mas Gilar suka sama Sekar tidak? Sebelum melangkah ke topik sebenarnya.” tanya pakdhe kembali ke wajah serius.
Aku membenahi posisi duduk, menarik napas panjang.
“Jadi gini, waktu mengantar Pak RT melamar itu sebenarnya jam delapan pagi saya sudah bersiap mau silaturahmi ke rumah ini, sowan Pakdhe mau melamar.”
Kutarik napas lagi dan mengeluarkan pelan, mencoba menahan gejolak dalam diri.
“Setelah bersiap dan mengunci pintu mendadak Pak RT datang. Tanpa disangka beliau meminta menemani ke sini untuk melamar. Serasa hancur harapan saya saat itu, sudah jatuh ditimpa tangga. Simalakama, tak bisa menolak permintaan Pak RT.”
“Lah....”Pakdhe ternganga mendengarkan keteranganku.
“Iya Pakdhe, upama jenengan yang berada di posisi saya, apa yang akan Pakdhe lakukan? Hehehe...”
“Hehehe...” pakdhe ketawa sambil garuk kepala yang saya yakin tidak gatal.
Sejenak terdiam, sibuk dengan rasa masing-masing. Pakdhe perlahan memintaku kembali,
“Jadi upama saya memohon Mas Gilar menikah dengan Sekar, bersedia kah?
Aku masih terdiam, lidah kelu tapi batin bersorak.
“Sekarnya mau nggak dengan saya yang tak sempurna ini, Pakdhe?”
Tanyaku menatap lekat, menemukan jawaban di mata pakdhe.
“Justru saya ini menyampaikan perasaan Sekar, Mas?” ujar pakdhe sambil berbinar.
“Oh....” aku ternganga.
“Jadi bagaimana, semua keputusan ada di tangan Mas Gilar. Saya tidak memaksa dan jawabannya tak perlu hari ini. Tolong dipikirkan baik-baik permohonan saya ini. “
Lanjut pakdhe memohon sambil menangkupkan kedua tangan ke dada.
“Tapi satu yang mengganjal, Mas Gilar anak nomor tiga dan Sekar nomor satu. Menurut hitungan orang Jawa itu tidak bagus, pamali. Mohon ini juga jadi bahan pertimbangan.”
Perasaanku berkecamuk, ditambah keterangan terakhir pakdhe kecamuknya semakin merajalela. Sebenarnya tidak percaya dengan larangan itu, tapi pasti orang tuaku juga akan mempersalahkan hal itu, secara mereka orang yang taat tradisi.
“Iya Pakdhe, Insya Allah saya bersedia menikahi Sekar. Dengan senang hati. Nanti akan saya pertimbangkan dengan orang tua tentang perhitungan jilu (siji-telu), anak satu dan tiga. Semoga ada pencerahan. Ehm, sudah hampir Magrib kalau begitu saya pamit dulu . Terima kasih banyak Pakdhe.”
Pakdhe tersenyum sambil menepuk pundakku tiga kali. Aku segera beranjak pulang dengan langkah yang sangat ringan dan riang. Malam datang menjemput cahaya pagi, juga rasaku saat ini.
*****
Madiun, 15 Oktober 2022
# teks Jatuh Hati adalah lirik dan lagu karya Fileski.
Dyah Kurniawati lahir dan bermukim di Madiun. Menggilai fiksi sejak berseragam putih merah. Lulusan Pend. Bahasa dan Sastra Jawa ini mencoba selingkuh ke sastra Indonesia, tapi tak kuasa lepas dari hangat pelukan sastra Jawa. Menulis geguritan, cerkak, esai, cerita lucu juga menulis puisi dan cerpen. Bisa disapa di https://www.facebook.com/dyah.kurniawati.948
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024