Suara kereta berderit-derit memenuhi stasiun. Arman
duduk dengan gelisah di bangku ruang tunggu. Sesekali ia terlihat mondar-mandir
di peron stasiun sambil menyapukan pandangannya ke arah penumpang yang baru
turun dari kereta. Tampaknya, Arman sedang menanti seseorang.
“Marni seharusnya sudah tiba. Mengapa dia belum
datang juga?” gumamnya dalam hati.
Hari itu adalah hari yang istimewa. Marni berulang
tahun. Arman sudah berjanji untuk merayakannya di tempat makan favorit mereka
di tengah kota Jakarta. Untuk itu, keduanya berjanji bertemu di stasiun pada
pukul sepuluh pagi, lalu berangkat bersama menggunakan mobil Grab.
“Apa yang terjadi dengan Marni ya?” pikirnya
kemudian.
Hingga sejam berlalu, Marni masih belum tampak batang
hidungnya. Arman lalu memutuskan untuk menghubungi kekasihnya itu melalui
ponsel. Sayangnya, panggilan telepon itu tidak sekalipun tersambung. Sepertinya,
ponsel Marni tidak aktif atau berada di luar jangkauan.
***
Sore yang kelam. Marni tiba di Desa Baya, Sulawesi
Tengah. Dia melangkah dengan hati yang berat menuju rumahnya. Beberapa kerabat
tampak berkumpul di depan rumah menyambut kedatangannya. Wajah-wajah mereka
terlihat muram, segelap mendung yang menggelayut di langit Desa Baya sore itu.
Marni tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri pipinya sejak kabar duka
itu diterimanya pagi tadi.
Suasana duka itu semakin terasa tatkala Marni
memasuki rumahnya. Tampak olehnya kedua adiknya, Dedi dan Farah berlinangan air
mata. Keduanya menangis sesenggukan sambil memeluk foto ibu mereka yang jasadnya
baru saja selesai dihantarkan ke peristirahatan terakhir.
“Kita harus kuat. Kita harus menjaga satu sama lain
sekarang. Kakak akan menjaga kalian seperti Ibu melakukannya,” ucap Marni
sambil memenangkan kedua adiknya.
Ada rasa penyesalan dalam hatinya karena ia tidak
sempat menemani ibunya di saat-saat terakhir perempuan itu menghembuskan nafas
terakhirnya. Bahkan, rasa sesal Marni semakin dalam, karena ia tidak sempat
lagi menyaksikan wajah perempuan yang melahirkannya itu untuk terakhir kalinya
sebelum dikebumikan. Marni terlambat karena harus menempuh perjalanan pesawat
yang cukup jauh dari Jakarta.
Sore itu di pusara ibunya, Marni menumpahkan segala
duka dan penyesalan yang begitu dalam. Dia berjanji akan menjaga adik-adiknya
dalam kondisi apapun. Sebab hanya dia satu-satunya orang yang menjadi tumpuan
harapan kedua adiknya yang masih duduk di bangku SD itu.
***
Arman merasa cemas dan gusar. Beberapa hari
kemudian, setelah mencoba menghubungi Marni tanpa hasil, ia memutuskan untuk
mencari tahu apa yang terjadi. Arman pergi ke tempat tinggal Marni. Namun,
Marni tidak ada di kamar kosnya. Di sana, Arman hanya bisa menemui Bu Inge, ibu
kos Marni.
“Maaf, bu. Saya mencari Marni. Dua hari lalu kami
ada janji bertemu, tetapi Marni tidak datang. Ponselnya tidak aktif. Saya tidak
tahu apa yang terjadi dengannya.”
“Oh, Maafkan saya. Marni pulang ke kampung
halamannya karena mendapat kabar bahwa ibunya meninggal dunia,” jawab Bu Inge.
Arman tersentak mendengar berita itu, “Apa? Ibunya
meninggal? Mengapa Marni tidak memberitahuku?”
“Mungkin dia terlalu sedih dan terburu-buru pulang
ke kampung halamannya,” jelas Bu Inge.
Arman hanya mengangguk. Ia lantas mencoba lagi menghubungi
ponsel Marni. Namun, masih belum tersambung juga. Nomor ponsel kekasihnya itu sepertinya
tidak aktif lagi. Sambil menghela nafas panjang, Arman berusaha menenangkan
dirinya. Mungkin sinyal telepon di kampung Marni kurang baik. Begitu pikirnya. Siang
itu, Arman kembali ke rumahnya dengan perasaan galau dan campur aduk. Ia tidak
tahu lagi apa yang harus ia lakukan.
***
Sementara itu di kampungnya, Marni menyadari bahwa
dengan kondisi seperti ini dia tidak bisa kembali lagi ke Jakarta, tempatnya
mengadu nasib selama ini. Adik-adiknya masih terlalu kecil untuk ditinggal
sendirian. Untuk membawa serta mereka berdua ke Jakarta juga tidak mungkin. Itu
terlalu berisiko.
“Dedi… Farah… Kak Marni mau menyampaikan sesuatu. Kakak
tidak bisa kembali lagi ke Jakarta,” ucap Marni beberapa hari kemudian.
“Kenapa memangnya Kak?” tanya Dedi si bungsu.
“Ibu kita sudah tiada. Kakak harus menjaga dan
membesarkan kalian berdua. Kalian masih sekolah dan perlu seseorang yang
mengurus kalian di sini,” jelas Marni.
“Meskipun Kakak ingin sekali bekerja di kota
Jakarta, tetapi keluarga adalah yang terpenting sekarang. Kakak akan bekerja di
desa ini dan kita akan hidup bersama,” lanjutnya.
Dedi menggenggam tangan Marni, “Kami akan selalu
bersamamu, Kak. Kita akan menjadi keluarga yang kuat.”
Marni tersenyum pahit. Dia harus meninggalkan
impian dan kehidupan di Jakarta. Namun, dia tahu bahwa dia telah membuat
keputusan yang benar. Bersama adik-adiknya, mereka akan membentuk keluarga yang
saling mendukung.
“Terima kasih, Dedi dan Farah. Kalian adalah
adik-adik yang memberi Kakak kekuatan untuk melanjutkan hidup ini. Kita akan
melewati semua ini bersama ya,” ucap Marni sambil mengusap air mata.
Dedi dan Farah merangkul Marni. Di dalam hati
keduanya, ada cinta kasih yang membuat mereka saling menguatkan dalam menghadapi
masa-masa sulit yang terpampang di depan mata. Hal itu membuat Marni bertambah
haru. Marni teringat masa lalu, kala ia masih duduk di kelas 6 SD. Sementara Dedi
baru berusia satu tahun dan Farah tiga tahun. Ayah mereka, Pak Rudi, memutuskan
untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Namun,
setelah kepergiannya itu, Pak Rudi tidak pernah kembali ke kampung.
“Ibu, di mana Ayah sekarang? Kapan dia akan pulang?”
tanya Marni suatu hari.
Bu Siti tak kuasa menahan sedih saat mendengar
pertanyaan anak sulungnya itu. Matanya berkaca-kaca sambil memandangi satu per
satu wajah-wajah polos anaknya.
“Sayang, Ayahmu memilih untuk bekerja di Arab Saudi
dan meninggalkan kita. Dia tidak akan pernah kembali lagi.”
Marni terkejut mendengar penuturan ibunya. “Tidak
mungkin Bu. Ayah pasti akan kembali, ya kan?” ucapnya sambil mengguncang-guncangkan
tubuh ibunya seolah tak percaya dengan kenyataan itu.
“Ibu juga berharap begitu, Nak. Tapi kenyataannya,
Ayahmu tidak pernah menghubungi kita lagi. Dia telah meninggalkan kita sendiri
di kampung ini.” Bu Siti merangkul Marni. Tangisnya tumpah di dalam hatinya. Ia
berusaha menahan kesedihannya, agar anak-anaknya tidak ikut merasakan kepiluan
itu.
Marni merasakan hatinya ikut hancur kala itu. Dia
tidak mengerti mengapa ayahnya memilih pergi dan meninggalkan mereka tanpa
kabar apapun. Ia bisa merasakan kesedihan batin yang mendera ibunya. Kini
sepeninggal ibunya, Marni harus mengambil peran sebagai seorang ibu, sekaligus ayah
bagi adik-adiknya.
“Aku akan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan
kita bertiga,” ucap Marni dalam hatinya.
Seiring berjalannya waktu, Marni berusaha keras
untuk mencari pekerjaan. Ia bekerja sebagai buruh tani serabutan dan
menjalankan berbagai pekerjaan sampingan untuk menghidupi keluarganya.
Meski hidup mereka berat, Marni tetap berusaha
memberikan kasih sayang dan perhatian yang tulus kepada adik-adiknya. Ia
memastikan bahwa Dedi dan Farah mendapatkan pendidikan yang baik dan makanan
yang cukup.
***
Sepuluh tahun berlalu sejak kepergian Marni ke
kampung tanpa kabar apapun. Arman menjalani hidupnya dengan pahit manisnya. Dia
menikah dan memiliki anak, tetapi Marni masih bercokol dalam pikirannya.
Suatu malam, saat menonton acara televisi “Tali
Kasih” Arman tercengang melihat sosok perempuan yang sedang berbicara di depan
kamera. Ia seperti mengenal perempuan itu.
“Saya Marni. Sepuluh tahun lalu, karena keadaan
memaksa saya terpisah dengan kekasih saya, Arman. Saya berharap dapat bertemu
dengannya lagi. Saya masih mencintainya meskipun sudah lama kami tidak bertemu,”
ucap perempuan itu.
Hati Arman berdebar. Jantungnya berdegup kencang.
Ia seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setelah sepuluh tahun, takdir
masih memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Marni lagi.
“Aku harus menemukan Marni. Aku harus tahu
bagaimana kabarnya sekarang,” ucapnya dalam hati.
Keesokan harinya, Arman pergi ke stasiun televisi
yang menyiarkan acara “Tali Kasih” tersebut. Dia menanyakan tentang Marni pada karyawan
TV di sana.
“Permisi, saya ingin bertanya tentang Marni, sosok
perempuan yang ditayangkan di acara Tali Kasih semalam. Saya Arman, kekasihnya.”
“Maaf, Bapak. Bu Marni melakukan pengambilan gambar
untuk program itu sekitar tiga minggu yang lalu. Saya hanya punya alamat dan
nomor ponselnya. Mau saya berikan?”
“Ya, tentu. Terima kasih banyak!”
Karyawan TV memberikan nomor ponsel dan alamat
Marni kepada Arman. Dengan hati yang masih tak keruan, Arman langsung
menghubungi nomor ponsel Marni yang baru.
“Halo …” Terdengar suara perempuan di ujung sana.
“Halo, ini Arman. Bisakah saya berbicara dengan Marni?
“Oh… Maaf, Pak. Kak Marni saat ini tidak bisa berbicara dengan Pak Arman..."
"Kenapa? Ada apa dengan Marni?
"Saya tidak bisa menjelaskannya lewat telepon. Pak Arman bisa datang ke sini untuk mengetahui semuanya."
"Oke, tolong berikan saya alamatnya."
"Ya, saya akan mengirimkannya lewat sms."
Arman menutup pembicaraan itu dengan perasaan penuh tanya. Ia semakin penasaran terhadap apa yang terjadi dengan Marni.
Berbekal alamat yang diberikan Farah, keesokan harinya Arman berangkat sendirian menggunakan pesawat. Hari telah menjelang senja ketika ia sampai di Desa Baya. Farah dan Dedi menyambutnya penuh haru.
"Kak Marni sudah meninggal seminggu
yang lalu karena sakit kanker. Selama ini Kak Marni tinggal
bersama kami di kampung dan belum menikah. Tapi saya tahu dia masih mencintai Pak
Arman,” ucap Farah.
Arman terkejut. Ia tidak menyangka akan menemui kenyataan pahit seperti itu. Arman tertunduk lemas. Air mata berlinang di
pipinya. Bibirnya kelu, tak sanggup berkata apa-apa lagi. Harapan yang sudah ia
bangun, kembali hancur berkeping-keping setelah mendengar kabar duka tentang
Marni.
“Maafkan aku, Marni. Aku tidak bisa memenuhi janji kita. Aku merindukanmu begitu dalam. Selama ini aku menunggu kabar darimu. Tetapi hari ini, yang kutemui hanya tinggal pusaramu.”
Arman tak kuasa menahan haru yang semakin menguasai
dirinya. Ia berlutut di depan pusara kekasihnya yang sangat ia rindukan. Dalam tangisnya, Arman terus mengucapkan rasa cintanya kepada Marni
dan penyesalannya yang terlambat.
Arman berjanji dalam hatinya untuk menjaga kenangan
Marni tetap hidup dan melanjutkan hidupnya dengan cinta dan penghargaan
terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Untuk menebus kesalahannya, Arman
memboyong Dedi dan Farah ikut bersamanya ke Jakarta.
---SELESAI---